Kamis, 02 April 2009

Ditolak 2 kali

Aku duduk diantara para jamaah pengajian ahad pagi….
Fiqih keluarga, adalah tema kajian hari itu...
Bagimana dan dasar apa yang harusnya ada dalam keluarga yang mendambakan sakinah...
Aku duduk terpengkur... entah apa yang kurasa... nyaris air mata ini meleleh, padahal saat itu sama sekali bukan saat-saat orang terharu atau bersedih, tentu saja karena isi kajian itu bukan muhasabah diri... dan ustadnya pun memberikan tausiyah dengan gaya yang kadang ngocol, sangat tidak tepat jika saat itu aku menangis.. menangis yang entah karena apa pun juga aku tidak tahu pasti... sakit, ada perasaan perih di hatiku, karena dosa, karena makhluk, atau karena apa?...
Ada pertanyaan yang ingin sekali ku tanyakan.. Cinta, apa hakikat cinta? Cinta seperti apa yang seharusnya mendasari dibinanya hubungan suami istri dalam membina rumah tangga? Salahkah jika cinta itu tumbuh sebelum adanya ijab qabul? Salahkah jika setelah agama yang menjadi kriteria utama, pemilihan juga didasari karena faktor fisik, atau apapun selain itu, atau bahkan cinta? Bukankah calon mempelai pria sebaiknya melihat calon istrinya untuk melihat hal apa yang dapat menumbuhkan perasaan cintanya? Apa yang dimaksud, bagaimana rasanya, dan bagaimana cara kita mendapatkan perasaan cinta karena Allah SWT??? Tanpa mengajukan pertanyaan itu ustad yang sepertinya tau (?? GR!) apa yang ada di benakku mengatakan tentang hal ini yang sayangnya ternyata beliaupun tidak bisa mendefinisikannya... yah, memang tidak ada yang mudah dalam belajar...
Sesi bertanyapun tiba
Rasanya ingin aku mengacungkan tanganku tinggi2... tapi rasanya lemas... ”energi”ku tidak cukup kuat untuk hanya mengangkat tangan kananku...
Di ujung sana seorang akhwat mengacungkan tanganya tinggi2..
Tak kuduga ternyata dia bertanya tentang slh 1 pertanyaan yang aku tak sanggup menanyakannya... antusiame dan energinya yang awalnya kelihatan cukup besar menjadi berkurang saat dia telah mendapatkan mikrofon dan mulai berkata-kata... dia bertanya apakah salah jika dia memutuskan untuk tidak menikah?... dengan suara bergetar teteh itu berkata bahwa dia sudah 2 kali gagal ta’aruf... yang terakhir calon ibu mertuanyalah yang tidak bisa menerima keaadannya yang kurang sempurna. Ya saat itu baru ku sadari bahwa 2 besi penyangga badan yang bersender pada dinding masjid itu adalah kepunyaan teteh cantik dan pemberani itu... Sekilas memang tidak ada yang kurang dari teteh itu, cantik, kulitnya bersih, namun ternyata teteh itu diberi ujian dengan sepasang kakinya yang tidak bisa berjalan tanpa bantuan 2 besi. Ya Allah... aku yang kadang masih merasa terluka dg ”dosa” dari perbuatanku sendiri masih diberikan kesempurnaan fisik, tubuhku masih bisa berjalan tanpa bantuan besi atau benda apapun sudah mengeluh... disana si teteh mendapatkan ujian yang jauh lebih berat lagi, ditolak karena fisiknya yang kurang sempurna....
Teh, terimaksih untuk keberanianmu bertanya tentang hal yang aku sebagai saudarimu yang terlihat ”sempurna” pun tak sanggup untuk menanyakannya...
Ya Rob, apakah suatu dosa jika kami tidak menikah tanpa bermaksud melawan dan menyangkal fitrah yang Kau beri, tanpa bermaksud membenci apa yang menjadi sunnah RasulMu... karena aku yakin Engkau Maha Mengetahui alasan kami jika akhirnya memilih jalan itu... Ampunilah kami Ya Allah... Ampuni kami...
Suatu hari, 24 Maret 2009

Tidak ada komentar: